Jika dianggap rata-rata
Angkatan 83 Seni Rupa ITB lulus tahun 1989, maka telah 23 tahun para lulusan
tersebut berada dalam lingkungan masyarakat. Dengan kata lain dalam konteks
keprofesiannya mereka adalah para pelaku yang seharusnya telah mapan dalam
bidangnya. Tentu saja, sudah jamak bahwa keprofesian yang digeluti tak selalu
sebangun dengan studi ketika mahasiswa. Namun sudah umum pula diterima bahwa
rata-rata “anak seni rupa” dianggap memiliki kreatifitas dan ketrampilan
“seni.” Karena itu patut diduga bahwa kebanyakan lulusan seni rupa
perkerjaannya tidak jauh dari dunia seni rupa, baik itu dunia kesenimanan,
desain (perancangan) maupun kriya.
Pencapaian dalam bidang
keprofesian apapun umumnya juga menyangkut aspek penghargaan (recognition) dari
masyarakat penyangganya. Dalam bidang seni rupa dan desain, hal itu artinya
sejauh mana nama-nama seniman dan desainer penting telah beredar di masyarakat.
Tentu desainer tak melulu bekerja dalam konsep personal/individual, banyak para
desainer yang bekerja dalam team-work, atau menjadi bagian dalam proses desain
dalam industri, baik industri jasa (periklanan dan perancangan) sehingga
nama-nama personal tak muncul. Di sisi lain, bisa diduga cukup banyak lulusan
seni rupa dan desain yang memiliki atelier atau workshop sendiri. Para seniman
dan desainer mandiri ini dapat menampilkan sisi ekspresi dan kreativitas secara
lebih bebas, dan bisa jadi dikenal sebagai seniman dan disainer secara
personal.
Tak mudah mendata dan menilai
pencapaian Angkatan 83 Seni Rupa ITB, khususnya bagi para desainer yang bekerja
pada perusahaan besar. Keterpisahan ‘ruang’ eksistensi menjadikan para alumni
SR Angkatan 83 tak lagi dapat saling berinteraksi secara intens. Sebagai
akibatnya kemungkinan sinergi antara mereka tak tercipta. Padahal, sebagaimana
dikatakan di muka, menilik umuran para alumni SR Angkatan 83 seharusnya ada
dalam level yang telah cukup mapan. Karena itu, jika bisa terjadi sinergi yang
intens antara mereka tentu akan menghasilkan potensi dan kreativitas yang lebih
meyakinkan. Sebagai upaya melihat potensi personal para alumni tersebut, maka
digagas sebuah pameran Seni Rupa Angkatan 83 yang bertajuk “29 Years After” – Road To 30th ITB 83 2013. Diharapkan melalui pameran ini
para alumni bisa unjuk kekuatan dan prestasinya selama ini. Namun yang lebih
penting pameran ini dapat menjadi dapat menjadi pemicu berkembangnya interaksi
dan kerjasama antar para alumni.
Pameran
Seni-Desain-Kriya 83
Pertama-tama, Pameran
Seni-Desain-Kriya 83 bukanlah judul yang diusulkan, namun merujuk pada ruang
lingkup pameran. Sesuai dengan bidang keprofesian dalam seni rupa, maka pameran
ini diharapkan menampilkan karya seni, desain dan kriya, baik dalam kategori
bulat maupun campuran (hybrid), seperti kategori art-craft, designart. Bisa
jadi cukup banyak alumni seni rupa yang memang berprofesi atau berkegiatan
dalam bentuk profesi “campuran” seperti designer-maker, artist-craftsman, atau
artist-designer.
Dalam modernitas Indonesia,
seni, desain dan arsitektur merupakan wilayah “keprofesian” yang terpisah dan
saling berdiri sendiri. Tentu hal ini tak hanya berlaku di Indonesia. Bisa
dikatakan segala keprofesian yang ada dalam masyarakat modern memang merupakan
adopsi dari modernitas masyarakat Barat. Otonomi seni, dan makin
terspesialisasinya ilmu serta teknologi menghasilkan sekat-sekat pemisah di
antara setiap bidang--keilmuan, teknologi dan profesi. Seni rupa modern
merupakan wilayah otonom yang mengacu pada dirinya sendiri sesuai kredo
utamanya art for art’s sake. Dalam perjalanannya, masing-masing cabang ilmu dan
teknologi sibuk mempercanggih wilayahnya sendiri. Sementara itu, desain, yang
kerap dianggap sebagai wilayah antara teknologi dan seni pun menjadi semakin
terspesialisasi ke dalam sub bidang desain. Di Indonesia pun saat ini jarak
antara seni dan desain semakin melebar. Kedua belah pihak menjadi semakin
merasa asing satu sama lain.
Bangkrutnya seni rupa modern,
dan menyurutnya Internasional Style dalam desain arsitektur modern ditandai
dengan munculnya prinsip-prinsip pos modern. Kembali terjadi upaya-upaya untuk
mencari titik temu dan antara seni, desain, arsitektur. Demikian pula upaya
interdisiplin antar bidang keilmuan--khususnya ilmu-ilmu sosial--pun terjadi.
Dalam era seni rupa kontemporer terjadi cukup banyak upaya lintas batas yang
dilakukan oleh seniman di negara maju ke wilayah desain. Istilah design
art--kerap pula ditulis menyatu, desigart--setidaknya merefleksikan hal itu.
Sesungguhnya kehendak memadukan seni, ketrampilan dan perancangan (arsitek dan
desain) sudah sejak lama diupayakan. Art and Craft Movement yang digagas oleh
seniman dan perancang Inggris William Morris serta kritikus kebudayaan John
Ruskin merupakan gerakan yang mengidealkan penyatuan seni, craft dan
arsitektur--sebagai reaksi terhadap Revolusi Industri di Eropa Barat ketika
itu. Terbukti gerakan tersebut tidak berumur panjang, kalah oleh pertumbuhan
industri menufaktur dan pertumbuhan seni modern yang menegaskan dikotomi antara
seni dan desain.
Bauhaus, Cikal bakal sekolah desain
modern pun awalnya berupaya memadukan seni, craft, dan arsitekstur. Namun dalam
perkembangannya Bauhaus akhirnya lebih fokus pada bidang desain
Berakhirnya kekuatan seni rupa
modern dan berlalunya masa pancaroba pos modern, menjadikan seniman kontemporer
memiliki kebebasan lebih. Beberapa seniman kembali bereksperimen untuk masuk ke
wilayah lain seperti desain, craft, dan arsitekstur. Beberapa seniman terkenal
seperti Jorge Prado, Tobias Rehberger, Andrea Zittel, Hella Jongerius dan group seperti M/M,
N55, Studio Van Lieshout dan Superflex terdoromg untuk membuat sekaligus karya
seni dan bermacam produk desain, seperti furniture, fashion serta barang-barang
fungsional lain. Seringkali produk mereka menembus garis batas antara seni,
desain, dan arsitektur lain. Bicara mengenai Jorge Prado, Miwon Kwon berujar, “
Jorge Prado, A Cuban-born, LA-based artist, hailed in recent years as a new
kind of Renaissance man; variously labeled as a sculptor, graphic designer,
installation astist, interior designer, architect, furniture designer, seet
designer and curator.”
Harus diakui sekat-sekat antara
seni, craft, desain dan arsitektur semakin mencair. Upaya untuk saling lintas
batas menjadi tantangan dan petualangan yang menarik bagi para seniman,
desainer dan arsitek. Sayangnya di Indonesia upaya saling lintas batas dan
kolaborasi antara disiplin seni, desain dan arsitektur sangat minim. Pameran
angkatan 83 ini diharapkan dapat menampilkan kreasi-kreasi baru yang blurring the boundaries antara seni,
craft, desain. Tidak soal apakah yang merancangnya adalah seniman, craft
artist, maupun desainer. Karya-karya hybrid berupa ; design-art, craft-art,
craft-design dari para seniman dan desainer Indonesia masih sangat sulit
dijumpai. Demikian pula sulit menemukan produk croosing the boundaries, yaitu produk desain yang dihasilkan
seniman, atau “obyek estetik” yang dihasilkan oleh desainer. (Asmujo
Jono Irianto)