Rabu, 12 Desember 2012

20.12.20.12 Pameran SR-ITB '83


Jika dianggap rata-rata Angkatan 83 Seni Rupa ITB lulus tahun 1989, maka telah 23 tahun para lulusan tersebut berada dalam lingkungan masyarakat. Dengan kata lain dalam konteks keprofesiannya mereka adalah para pelaku yang seharusnya telah mapan dalam bidangnya. Tentu saja, sudah jamak bahwa keprofesian yang digeluti tak selalu sebangun dengan studi ketika mahasiswa. Namun sudah umum pula diterima bahwa rata-rata “anak seni rupa” dianggap memiliki kreatifitas dan ketrampilan “seni.” Karena itu patut diduga bahwa kebanyakan lulusan seni rupa perkerjaannya tidak jauh dari dunia seni rupa, baik itu dunia kesenimanan, desain (perancangan) maupun kriya.

Pencapaian dalam bidang keprofesian apapun umumnya juga menyangkut aspek penghargaan (recognition) dari masyarakat penyangganya. Dalam bidang seni rupa dan desain, hal itu artinya sejauh mana nama-nama seniman dan desainer penting telah beredar di masyarakat. Tentu desainer tak melulu bekerja dalam konsep personal/individual, banyak para desainer yang bekerja dalam team-work, atau menjadi bagian dalam proses desain dalam industri, baik industri jasa (periklanan dan perancangan) sehingga nama-nama personal tak muncul. Di sisi lain, bisa diduga cukup banyak lulusan seni rupa dan desain yang memiliki atelier atau workshop sendiri. Para seniman dan desainer mandiri ini dapat menampilkan sisi ekspresi dan kreativitas secara lebih bebas, dan bisa jadi dikenal sebagai seniman dan disainer secara personal.

Tak mudah mendata dan menilai pencapaian Angkatan 83 Seni Rupa ITB, khususnya bagi para desainer yang bekerja pada perusahaan besar. Keterpisahan ‘ruang’ eksistensi menjadikan para alumni SR Angkatan 83 tak lagi dapat saling berinteraksi secara intens. Sebagai akibatnya kemungkinan sinergi antara mereka tak tercipta. Padahal, sebagaimana dikatakan di muka, menilik umuran para alumni SR Angkatan 83 seharusnya ada dalam level yang telah cukup mapan. Karena itu, jika bisa terjadi sinergi yang intens antara mereka tentu akan menghasilkan potensi dan kreativitas yang lebih meyakinkan. Sebagai upaya melihat potensi personal para alumni tersebut, maka digagas sebuah pameran Seni Rupa Angkatan 83 yang bertajuk “29 Years After” – Road To 30th  ITB 83 2013. Diharapkan melalui pameran ini para alumni bisa unjuk kekuatan dan prestasinya selama ini. Namun yang lebih penting pameran ini dapat menjadi dapat menjadi pemicu berkembangnya interaksi dan kerjasama antar para alumni.

         Pameran Seni-Desain-Kriya 83

Pertama-tama, Pameran Seni-Desain-Kriya 83 bukanlah judul yang diusulkan, namun merujuk pada ruang lingkup pameran. Sesuai dengan bidang keprofesian dalam seni rupa, maka pameran ini diharapkan menampilkan karya seni, desain dan kriya, baik dalam kategori bulat maupun campuran (hybrid), seperti kategori art-craft, designart. Bisa jadi cukup banyak alumni seni rupa yang memang berprofesi atau berkegiatan dalam bentuk profesi “campuran” seperti designer-maker, artist-craftsman, atau artist-designer.

Dalam modernitas Indonesia, seni, desain dan arsitektur merupakan wilayah “keprofesian” yang terpisah dan saling berdiri sendiri. Tentu hal ini tak hanya berlaku di Indonesia. Bisa dikatakan segala keprofesian yang ada dalam masyarakat modern memang merupakan adopsi dari modernitas masyarakat Barat. Otonomi seni, dan makin terspesialisasinya ilmu serta teknologi menghasilkan sekat-sekat pemisah di antara setiap bidang--keilmuan, teknologi dan profesi. Seni rupa modern merupakan wilayah otonom yang mengacu pada dirinya sendiri sesuai kredo utamanya art for art’s sake. Dalam perjalanannya, masing-masing cabang ilmu dan teknologi sibuk mempercanggih wilayahnya sendiri. Sementara itu, desain, yang kerap dianggap sebagai wilayah antara teknologi dan seni pun menjadi semakin terspesialisasi ke dalam sub bidang desain. Di Indonesia pun saat ini jarak antara seni dan desain semakin melebar. Kedua belah pihak menjadi semakin merasa asing satu sama lain.

Bangkrutnya seni rupa modern, dan menyurutnya Internasional Style dalam desain arsitektur modern ditandai dengan munculnya prinsip-prinsip pos modern. Kembali terjadi upaya-upaya untuk mencari titik temu dan antara seni, desain, arsitektur. Demikian pula upaya interdisiplin antar bidang keilmuan--khususnya ilmu-ilmu sosial--pun terjadi. Dalam era seni rupa kontemporer terjadi cukup banyak upaya lintas batas yang dilakukan oleh seniman di negara maju ke wilayah desain. Istilah design art--kerap pula ditulis menyatu, desigart--setidaknya merefleksikan hal itu. Sesungguhnya kehendak memadukan seni, ketrampilan dan perancangan (arsitek dan desain) sudah sejak lama diupayakan. Art and Craft Movement yang digagas oleh seniman dan perancang Inggris William Morris serta kritikus kebudayaan John Ruskin merupakan gerakan yang mengidealkan penyatuan seni, craft dan arsitektur--sebagai reaksi terhadap Revolusi Industri di Eropa Barat ketika itu. Terbukti gerakan tersebut tidak berumur panjang, kalah oleh pertumbuhan industri menufaktur dan pertumbuhan seni modern yang menegaskan dikotomi antara seni dan desain.

Bauhaus, Cikal bakal sekolah desain modern pun awalnya berupaya memadukan seni, craft, dan arsitekstur. Namun dalam perkembangannya Bauhaus akhirnya lebih fokus pada bidang desain

Berakhirnya kekuatan seni rupa modern dan berlalunya masa pancaroba pos modern, menjadikan seniman kontemporer memiliki kebebasan lebih. Beberapa seniman kembali bereksperimen untuk masuk ke wilayah lain seperti desain, craft, dan arsitekstur. Beberapa seniman terkenal seperti Jorge Prado, Tobias Rehberger, Andrea  Zittel, Hella Jongerius dan group seperti M/M, N55, Studio Van Lieshout dan Superflex terdoromg untuk membuat sekaligus karya seni dan bermacam produk desain, seperti furniture, fashion serta barang-barang fungsional lain. Seringkali produk mereka menembus garis batas antara seni, desain, dan arsitektur lain. Bicara mengenai Jorge Prado, Miwon Kwon berujar, “ Jorge Prado, A Cuban-born, LA-based artist, hailed in recent years as a new kind of Renaissance man; variously labeled as a sculptor, graphic designer, installation astist, interior designer, architect, furniture designer, seet designer and curator.”

Harus diakui sekat-sekat antara seni, craft, desain dan arsitektur semakin mencair. Upaya untuk saling lintas batas menjadi tantangan dan petualangan yang menarik bagi para seniman, desainer dan arsitek. Sayangnya di Indonesia upaya saling lintas batas dan kolaborasi antara disiplin seni, desain dan arsitektur sangat minim. Pameran angkatan 83 ini diharapkan dapat menampilkan kreasi-kreasi baru yang blurring the boundaries antara seni, craft, desain. Tidak soal apakah yang merancangnya adalah seniman, craft artist, maupun desainer. Karya-karya hybrid berupa ; design-art, craft-art, craft-design dari para seniman dan desainer Indonesia masih sangat sulit dijumpai. Demikian pula sulit menemukan produk croosing the boundaries, yaitu produk desain yang dihasilkan seniman, atau “obyek estetik” yang dihasilkan oleh desainer. (Asmujo Jono Irianto)





































Senin, 10 Desember 2012

Label